Archive for the ‘jurnal vol 4’ Category

KONFIRMASI TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK SELEKSI LAJU DAN MASA PENGISIAN BIJI TANAMAN JAGUNG

Teuku Mahmud

     ABSTRACT

Kernels of the original (C0) plus fifth cycle (C5) of a maize (Zea mays L.) synthetic, divergently selected for long and short effective filling period (EFP) or high and low dry matter accumulation rate (DMAR), were evaluated by two different sampling procedures. The objectives were to evaluate single plant vs. multiple plant measurement procedure for EFP and DMAR, plus changes the selection traits, physiological and morphological characteristics, and plant yield. The two sampling techniques and all data analysis procedures resulted in a similar ranks of kernel size, DMAR, and EFP. The best estimate of maximum kernel size was at black layer maturity. The nonlinear procedure estimated EFP better than did other procedures. Compared to C0, DMAR was increased 31.5% and reduced 36% for the C5 high and low DMAR subpopulations, respectively. The kernel size of high and low DMAR in C5 differed by 105.4%. Long EFP selections tended to decreased DMAR. Compared to C0, EFP was increased 11.3% and reduced 8.8% for the C5 long and short EFP subpopulations, respectively. The EFP differences between long and short EFP selections was 22.1%. Duration differences occured almost exclusively in the late lag phase. Yield of the long EFP and high DMAR selections were equal to C0 but significantly greatert than short EFP and low DMAR selections. Yield was positively correlated with kernel size, DMAR, and EFP. Kernel size was correlated with DMAR and yield. From this experiment one might infer that selection for long EFP and high DMAR should increase  yield.

Keywords: dry matter accumulation rate, effective filling period


PENDAHULUAN

Hasil biji jagung (Zea mays L.) ditentukan oleh berbagai sifat fisiologi yang berinteraksi satu sama lain dan dengan lingkungan. Pemulia tanaman perlu mengetahui sifat-sifat penting untuk dapat memusatkan usaha-usaha pemuliaan. Bermacam-macam pendekatan telah diupayakan untuk usaha memahami, mengenal, dan memanipulasi proses-proses fisiologi yang berhubungan dengan produktivitas jagung. Suatu sifat tanaman untuk dipergunakan dalam suatu program pemuliaan tanaman harus memiliki keragaman genetik, mudah diukur, dan harus memiliki respon yang dapat diramalkan terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan.

Kemajuan  di bidang fisiologi tumbuhan dan penelitian pemuliaan telah memberikan beberapa pendekatan  fisiologi untuk perbaikan genetik hasil biji (Donald, 1968). Pendekatan fisiologi yang telah dipergunakan adalah pengukuran laju asimilasi bersih, indek luas daun, laju fotosintesis dan respirasi, translokasi hasil asimilasi, ditambah dengan penyaluran dan penggunaan cadangan sementara. Pengukuran-pengukuran ini susah dan jelimet dalam menyeleksi populasi-populasi berukuran besar. Karena pendekatan ini terhadap peningkatan produksi tanaman terasa mahal dan menyita banyak waktu, maka disarankan pengembangan suatu tipe  tanaman yang efisien melalui penggunaan komponen hasil atau sifat morfologi dan fisiologi hasil tanaman (Donald, 1968).

Belakangan, pemulia tanaman telah beralih mempelajari laju pertumbuhan dan masa pengisian biji untuk pengukuran sifat-sifat fisiologi secara efisien. Peneliti telah menemukan bahwa laju penumpukan bahan kering (LPBK) dan masa pengisian biji efektif  (MPBE) secara nyata berhubungan dengan hasil (Carter dan Poneleit, 1973; Cross, 1975; Daynard dan Kannenberg, 1976; Daynard et al., 1971; Hartung, 1983; Ito, 1985, Johnson dan Tanner, 1972; Mahmud, 1997; Poneleit dan Egli, 1979; Poneleit, 1983). Secara umum, penemuan mereka menunjukkan bahwa keragaman genetik ada untuk kedua sifat tersebut, dan dalam banyak hal, MPBE lebih erat hubungannya dengan hasil dari pada laju pertumbuhan biji.

Seleksi rekaren fenotip yang menyebar untuk LPBK dan MPBE telah menunjukkan efektivitas dalam merubah sifat-sifat morfologi dan fisiologi dari populasi WVS (White Virus Synthetic) (Hartung, 1983; Poneleit, 1983) dan populasi sintetik (Mahmud, 1997). Laporan-laporan ini menunjukkan bahwa hasil-hasil seleksi untuk LPBK berbeda nyata dalam ukuran dan pertumbuhan biji, sedangkan seleksi untuk MPBE berbeda nyata dalam masa pengisian biji. Hasil dari subpopulasi yang menyebar tersebut cenderung berbeda-beda tetapi masih tidak nyata pada P=0.05. Sifat-sifat fisiologi yang lain juga berubah. Data terakhir menunjukkan bahwa penyebaran yang lebih luas untuk LPBK dan MPBE telah dicapai, namun evaluasi secara menyeluruh dan mendalam belum dicapai.

Secara teoritis, dalam hal sifat-sifat fisiologi untuk dapat dipergunakan dalam program peningkatan hasil haruslah berkorelasi nyata dengan hasil, heritabilitas tinggi, dan sedemikian rupa dapat diseleksi dengan mudah dari populasi yang heterogen. Lebih lanjut, seleksi berdasarkan sifat fisiologi hanya efektif  jika sifat berkenan dapat diidentifikasi dan dikenal dengan baik. Pemahaman menyeluruh dari perubahan-perubahan masa pertumbuhan yang dipengaruhi oleh perubahan LPBK dan MPBE akan bermanfaat untuk penggunaan lebih lanjut dari pengaruhnya terhadap peningkatan potensi hasil jagung. Oleh karena prosedur seleksi menggunakan sampel kecil untuk mengumpulkan data dengan cepat (14 dan 28 hari setelah penyerbukan dan pada saat masak fisiologis biji) dari tanaman tunggal, sampel lebih sering secara interval (tiga hari sekali) akan menyajikan evaluasi secara menyeluruh dari perubahan-perubahan selama perkembangan biji.

Ada empat tujuan yang dipilih untuk menyajikan informasi tentang populasi seleksi LPBK dan MPBE. Tujuan pertama adalah untuk mendapatkan evaluasi yang lebih baik dari LPBK dan MPBE dengan mengukur berat biji kering pada interval tiga hari (sampel banyak tanaman) dan membandingkan dengan evaluasi sampel banyak tanaman dengan teknik sampel satu tanaman yang dipakai pada program seleksi. Fungsi-fungsi matematik atau statistik dipergunakan untuk perbandingan. Tujuan kedua adalah untuk konfirmasi hasil seleksi yang berkelanjutan untuk LPBK dan MPBE yang menyebar dalam rangka mendapatkan penjelasan lebih terperinci  perubahan-perubahan hasil seleksi. Tujuan ketiga adalah untuk nmenentukan perubahan-perubahan morfologi dan komposisi biji sebagai hasil seleksi yang menyebar.


KAJIAN CEMPAKA KUNING (Michelia champaca L.) SEBAGAI TUMBUHAN OBAT

Zumaidar

 

ABSTRACT

 

The aim of the research was to appraise uses of yellow champaca (Michelia champaca L.) as a medicinal plant. This research applied participatory rural appraisal method. The data were sampled from 9 sub districts in Banda Aceh by purposive sampling respondents, i.e. tuha peut (ranking people in community), tabib (traditional healer), bidan gampong (traditional midwife) and the community planting yellow champaca.  The result showed that yellow champaca was used as medicine for 21 diseases. Plant organs most used were flowers and leaves. Most of them were mixed with other plant organs.

Keywords: Champaca, Michelia, medicinal plant

 


PENDAHULUAN

 

Pada awalnya pemanfaatan suatu jenis tumbuhan disebabkan oleh adanya sistem pengetahuan lokal atau Indigenous Knowledge mengenai tumbuhan pada suatu kelompok masyarakat tradisional. Pengetahuan ini terbentuk sebagai hasil dari coba-coba (trial and error) serta perkembangan budaya manusia, yang selanjutnya akan menciptakan kearifan lokal pada kelompok masyarakat tersebut (Martin, 1995).

Pengetahuan tentang suatu kelompok masyarakat terhadap pemanfaatan tumbuhan yang didapat secara turun temurun dikenal dengan etnobotani, secara khusus mengenai obat dikenal dengan etnofarmakologi. Meskipun dalam perkembangan modern saat ini tuntutan mengenai informasi kearifan lokal (lndigenous Knowledge) mutlak diperlukan namun disisi lain ilmu ini semakin terancam keberadaannya seiring semakin jauhnya masyarakat dengan alam sekitarnya. Sistem pengetahuan lokal juga dipahami sebagai local level decision making, baik dalam bidang pertanian, kesehatan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam, dan berbagai aktivitas lainnya dalam lingkungan masyarakat desa. Pengkajian terhadap pengetahuan lokal juga telah mampu memberikan gambaran mengenai kearifan tradisi masyarakat dalam mendayagunakan sumberdaya           alam dan sosial secara bijaksana dan tetap memelihara keseimbangan lingkungan (Adimihardja, 1996). Warren et al. (1991) menambahkan bahwa kajian terhadap tumbuhan yang digunakan biasanya hanya terbatas pada apa yang ada di dalam  kelompok masyarakat tersebut dan mengandung nilai persepsi, pengetahuan, etika, moral, aturan dan teknologi.

Michelia champaca L. dikenal dengan cempaka kuning atau di Aceh dikenal dengan sebutan Jeumpa Kuneng. Tumbuhan ini telah ditetapkan sebagai puspa daerah atau flora identitas Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri No. 48 Tahun 1989 (Pitojo, 1994). Menurut salah seorang tokoh di Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Provinsi NAD, masyarakat Aceh sangat menghargai Bungong Jeumpa. Hal ini ditandai dengan pemanfaatan jenis ini dalam berbagai acara adat. Selain itu keharuman, keindahan dan warna bunga ini telah mengilhami pujangga Aceh untuk menciptakan syair yang terkenal dengan lagu Bungong Jeumpa. Namun pengetahuan masyarakat Aceh menyangkut pemanfaatan tumbuhan ini sebagai obat belum diketahui. Oleh karenanya, diperlukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan tumbuhan cempaka kuning sebagai obat tradisional yang digunakan oleh masyarakat di Kota Banda Aceh.

PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN TERUNG AKIBAT PEMBERIAN PUPUK DAUN GANDASIL D DAN ZAT PENGATUR TUMBUH HARMONIK

Jumini dan Ainun Marliah

ABSTRACT

 

The aim of this research was to study effect of Gandasil D fertilizer concentration and Harmonik growth regulator on growth and yield of egg plants. Experimental design used was a factorial 3 x 4 with three replications. The two factors investigated were Gandasil D concentration (0 g/l, 2 g/l and 4 g/l of water), and Harmonik growth regulator concentration (0 cc/l, 1 cc/l, 2 cc/l and 3 cc/l of water).         Results showed that Gandasil D fertilizer concentration significantly affected length of egg plants and its biomass. The best result of Gandasil D fertilizer was at concentration of 2 g/ l of water. Growth regulator agent concentration showed significant effects on plant height of 30 days and 60 days.  The best concentration was  3 cc/ l of water.  There was a correlation between Gandasil D fertilizer concentration and Harmonik growth regulator on diameter and length of egg plant.

Keywords: Fertilizer, Gandasil D, Harmonik, Growth Regulator Agent


PENDAHULUAN

 

            Terung (Solanum melongena L.) merupakan tanaman sayur-sayuran yang termasuk famili Solanaceae. Buah terung disenangi setiap orang baik sebagai lalapan segar maupun diolah menjadi berbagai jenis masakan. Menurut     Sunarjono et al. (2003) bahwa setiap 100 g bahan mentah terung mengandung     26 kalori, 1 g protein, 0,2 g hidrat arang, 25 IU vitamin A, 0,04 g vitamin B dan   5 g  vitamin C.[1] Selain itu, terung juga mempunyai khasiat sebagai obat karena mengandung alkaloid solanin, dan solasodin yang berfungsi sebagai bahan baku kontrasepsi oral. Buah terung juga diekspor dalam bentuk awetan, terutama jenis terung jepang.

Permintaan terhadap terung terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk  yang diikuti dengan meningkatnya kesadaran akan manfaat sayur-sayuran dalam memenuhi gizi keluarga, sehingga produksi tanaman terung perlu terus ditingkatkan. Untuk meningkatkan produksi tanaman terung dapat dilakukan secara ekstensifikasi dan intensifikasi, namun dalam usaha peningkatan produktivitas dan efisiensi penggunaan tanah, cara intensifikasi merupakan pilihan yang tepat untuk diterapkan. Salah satu usaha tersebut adalah dengan penggunaan pupuk dan zat pengatur tumbuh.

Pemupukan dapat dilakukan melalui tanah dan daun. Pemupukan melalui daun lebih efisien karena proses penyerapan haranya lebih cepat (Setyamidjaja, 1986). Selain itu, keuntungan lainnya adalah apabila pupuk daun tersebut jatuh ke tanah, masih dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Buckman dan Brady, 1982).  Salah satu pupuk daun yang mengandung hara makro dan mikro adalah  Gandasil D.  Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari penggunaan pupuk daun, maka faktor yang sangat penting diperhatikan adalah konsentrasi dan interval pemberiannya.  Menurut Suhadi (1990) bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemupukan melalui daun adalah konsentrasi larutan, jenis tanaman dan waktu pemberian. Menurut Lingga dan Marsono (2005) bahwa penggunaan pupuk daun dengan konsentrasi berlebih akan menyebabkan gejala daun-daun seperti terbakar dan layu, kering dan akhirnya gugur. Hal ini tentunya sangat mengganggu pertumbuhan dan hasil tanaman. Adapun anjuran dari pupuk Gandasil D untuk tanaman sayur-sayuran adalah 1-3 g/liter air dengan interval waktu pemberian 8-10 hari sekali[2].

Selain penggunaan pupuk daun, penggunaan zat pengatur tumbuh juga mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman, di antaranya Harmonik. Zat pengatur tumbuh Harmonik berperan dalam pembesaran dan diferensiasi sel, mempercepat aliran asam amino dan zat makanan ke seluruh bagian tanaman dengan konsentrasi sitokinin tinggi. Selain itu,  ZPT Harmonik mengandung auksin, giberelin dan sitokinin  yang mampu mendorong pertumbuhan dan perpanjangan bagian tanaman (akar dan batang), merangsang pembungaan dan menormalkan pertumbuhan tanaman yang kerdil. Keuntungan lain dari pemberian ZPT Harmonik adalah mempunyai kisaran pemberian dengan konsentrasi lebih besar, sehingga apabila pemberian berlebih tidak membahayakan tanaman, mudah terurai oleh alam, aman bagi manusia dan ramah lingkungan. Konsentrasi ZPT Harmonik yang dianjurkan untuk tanaman sayur-sayuran adalah 1-2 cc/liter air[3].  Dari uraian di atas belum diketahui berapa konsentrasi pupuk daun  dan ZPT Harmonik yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman terung, sehingga perlu dilakukan penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi pupuk daun Gandasil D dan ZPT Harmonik yang tepat serta interaksi kedua faktor tersebut terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman terung.

 


VIABILITAS BENIH NANGKA PADA PELBAGAI STADIA KEMASAKAN DAN LETAK BIJI


Ainun Marliah, Said Imran, dan Alkausar

ABSTRACT

The aim of this research was to evaluate effect of fruit ripening stadiums, seed position inside the fruit, and interaction between them, on jack fruit seed viability.  Units of research arranged according to completely randomized design (CRD) with 3 replicates.  The factor of fruit ripening stadiums consisted of 3 levels: before, in and after physiological maturity, and also the factor of seed position inside the fruit consisted of 3 levels: both ends and at the middle of the fruit.  Observations conducted to the potency to germinate, Germination capacity, rate of germination and uniformity of germination.   The results showed that germination capacity, rate of germination and uniformity of germination were highly significant affected and potency to germinate was significantly effected by fruit ripening stadiums.  The highest jackfruit seed viability was found from physiological matury stadium.  Germination capacity and rate of germination also highly significantly affected by seeds position inside the fruit, but not significant on the potency to germinate and uniformity of germination.  The highest jack fruit seeds vibility come from the middle of the fruit.  There was a very significant of both factors on seed rate of germination, significant interaction on germination capacity, and not significant to other parameters.

Keywords: viability, seed, fruit ripening stadium, physiological maturity

PENDAHULUAN

 

            Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang berasal dari family Moraceae. Tanaman ini sangat banyak manfaatnya,selain dapat dikonsumsi dalam bentuk buah segar dan sayur juga dapat dijadikan sebagai tanaman pagar dan tanaman penahan erosi dalam sistem konservasi, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan (Widyastuti,1993).

Kebutuhan nangka terus meningkat baik untuk konsumsi rumah tangga, industri maupun sebagai tanaman konservasi. Hal ini memerlukan usaha peningkatan produktivitasnya melalui pengembangan dan pemeliharaan tanaman yang lebih intensif dan efisien. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah pembibitan tanaman itu sendiri. Pembibitan yang baik diharapkan dapat menghasilkan tanaman yang mempunyai tingkat produktivitas dan kualitas yang tinggi (Siregar dkk, 2000). Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan pemilihan benih yang berkualitas  (mempunyai viabilitas tinggi),  yang dijadikan bahan tanam.

Menurut Robert (dalam Justice dan Louis, 2002) salah satu faktor yang mempengaruhi viabilitas benih adalah stadia kemasakan. Benih yang berasal dari buah yang terlalu tua dan terlalu muda mempunyai viabilitas yang rendah. Daya kecambah benih pada saat awal pembentukan biji sangat rendah, akan tetapi semakin bertambahnya umur benih yang berhubungan dengan akumulasi bahan-bahan cadangan makanan, kemampuan benih untuk berkecambah meningkat. Makin tua umur benih kandungan bahan kering di dalamnya akan semakin tinggi. Kandungan bahan kering merupakan akumulasi bahan cadangan makanan yang terbentuk melalui proses fotosistesis. Menurut Shellavantar et al. (1998) akumulasi bahan kering maksimum  pada benih terjadi pada saat  masak fisiologis buah. Selanjutnya benih yang dipanen setelah lewat masak fisiologis menghasilkan benih dengan berat kering dan viabilitas yang menurun. Hal ini disebabkan  cadangan makanan yang dimiliki telah mulai berkurang akibat proses katabolisme yang terus berlangsung, sementara suplai makanan dari tanaman telah terhenti pada saat masak fisiologis (Sadjad, 1980).

Selain stadia kemasakan buah, letak biji pada buah juga mempengaruhi viabilitas benih. Biji yang letaknya pada bagian tengah dari buah, mempunyai ukuran lebih besar dan lebih  homogen dari pada biji yang letaknya pada bagian ujung dan pangkal buah. Menurut Sutopo (1994) benih yang berukuran besar dianggap lebih baik dari pada benih yang berukuran kecil. Hal ini erat hubunganannnya dengan kandungan cadangan makanan,  dimana pada benih ukuran besar mengandung cadangan makanan yang lebih banyak.  Menurut Sukatario (1996) bahwa benih bermutu baik adalah benih yang berukuran sedang dan seragam. Selanjutnya dikatakan bahwa benih yang terletak pada  bagian ujung buah mempunyai viabilitas rendah, karena mempunyai cadangan makanan lebih sedikit dibandingkan dengan benih yang terletak di tengah. Selain itu benih yang terletak di bagian ujung buah mempunyai selaput pelindung yang sangat tipis, sehingga sangat peka terhadap serangan penyakit dan kekeringan.  Namun secara spesifik belum diketahui stadia kemasakan dan letak biji pada buah yang tepat sehingga menghasilkan viabilitas benih nangka yang tinggi.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahiu stadia kemasakan buah dan letak biji yang tepat     serta interaksi keduanya sehingga menghasilkan viabilitas benih nangka yang tinggi.

PENGARUH CEKAMAN AIR PADA DUA JENIS TANAH TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI

Nurhayati

ABSTRACT

This study was aimed at determining effect of water stress maintained at 100, 80, 60, and 40% of field capacity in ordo Entisol and Ultisol on growth and yield of soybean. Experimental design used was a completely randomized design, 4 x 2 with three replicates. Results showed that water stress significantly affected all components of growth and yield of soybean, as well as amount of cumulative water need of soybean at plant ages of 8 – 95 days. Soil type also significantly affected all components of growth and yield of soybean, as well as amount of cumulative water need of soybean, except root length.  The best growth and yield of soybean was found at ordo Entisol. There was a highly significant interaction of all components of soybean growths and yields, except plant height at the age of 15 and 30 days after planting.  Soybean was still capable of producing high yield at the range of water stress 60% – 80% of field capacity in ordo Entisol, whereas in ordo Ultisol at the same circumstance, the soybean was not capable of maintaining the yield.
Keywords: soybean, water stress, ultisol, entisol, field capacity


PENDAHULUAN

 

Kedelai (Glycine max (L.) Merril) termasuk salah satu komoditi pangan yang penting di Indonesia. Produktivitas kedelai di Indonesia masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan Amerika Serikat. Rendahnya produksi kedelai di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor tanah, iklim, hama dan penyakit, maupun cara pengelolaan yang kurang baik. Salah satu unsur iklim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai adalah curah hujan atau ketersediaan air tanah. Kandungan air tanah harus cukup untuk perkecambahan, pertumbuhan, pembungaan dan pengisian polong. Diantar faktor-faktor tersebut masalah kekurangan air merupakan unsur iklim yang dominan menyebabkan rendahnya produksi kedelai di Indonesia (Tangkuman, 1974).

Ketersediaan air secara optimal bagi tanaman kedelai selama pertumbuhannya jarang sekali ditemukan di lapangan. Ketersediaan air yang tidak terjamin merupakan salah satu penyebab merosotnya panen dan luas pertanaman kedelai karena kedelai termasuk tanaman yang tidak tahan kekeringan (Fagi dan Tangkuman, 1985: Lamina, 1989). Dengan demikian kekurangan air pada media tanam kedelai menyebabkan pertumbuhan dan hasilnya menurun.

Cekaman air berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap tanaman. Secara langsung dapat menyebabkan penurunan turgor tanaman. Tekanan turgor sangat berperan dalam menentukan ukuran tanaman, berpengaruh terhadap pembesaran dan perbanyakan sel tanaman, membuka dan menutupnya stomata, perkembangan daun, pembentukan dan perkembangan bunga (Islami dan Utomo, 1985). Sedangkan secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses fisiologis seperti fotosintesis, metabolisme nitrogen, absorbsi hara dan translokasi fotosintat (Salisbury dan Ross, 1985).

Kebutuhan air tanaman merupakan besaran evaporasi dan transpirasi. Tanaman kedelai membutuhkan sejumlah air setiap fase pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut Pramono et al. (1993) pengaruh kekurangan air yang terjadi pada fase generatif lebih menekan hasil dibandingkan bila kekurangan air yang terjadi pada fase vegetatif. Selanjutnya Zen et. al. (1993) menambahkan bahwa kekurangan air pada fase pembungaan kedelai akan menyebabkan gagalnya pembentukan polong.

Kedelai merupakan tanaman C3 yang tidak tahan kekeringan dan penggenangan air. Kondisi air tanah yang baik untuk tanaman kedelai adalah air tanah dalam kapasitas lapang sejak tanaman tumbuh hingga polong berisi penuh. Kemudian kering menjelang panen (Sumarno dan Hartono, 1983).

Kebutuhan air untuk kedelai setara dengan jumlah air yang dievapotranspirasikannya yaitu berkisar antara 300 – 350 mm selama pertumbuhannya (Kung, 1971; Doorenbos dan Kassam, 1979). Selanjutnya Rosadi dan Darmaputra (1998) menyatakan bahwa tanaman kedelai yang mengalami kekurangan air tersedia sampai dengan (60 – 70%) pada fase vegetatif masih bisa dipertahankan asal segera diairi pada saat pembungaan.

Kemampuan tanaman untuk menyerap air tersedia tergantung pada jenis tanaman dan profil tanah yang dapat dijangkau oleh akar. Kisaran air tanah tersedia bagi tanaman merupakan air yang terikat antara kapasitas lapang (pF 2,54) dan titik layu permanen (pF 4,2)  yang besarnya bervariasi tergantung pada tekstur tanah, yaitu semakin halus tekstur tanah semakin besar kisarannya (Hakim et. al. 1986).

Menurut Loveless (1987) air tanah tersedia bagi tanaman berkisar pada kadar air tanah 20 – 55% untuk tanah liat dan 8 – 18% untuk tanah berpasir. Selanjutnya Islami dan Utomo (1995) menyatakan bahwa kemampuan tanah menyimpan air tersedia merupakan fungsi dari tekstur dan struktur tanah.

Tanah ordo entisol merupakan golongan tanah yang belum mengalami diferensiasi profil membentuk horizon yang nyata. Sifat Entisol dipengaruhi langsung oleh sumber bahan induknya sehingga kesuburannya ditentukan sifat bahan induk asalnya. Selanjutnya Entisol mempunyai tingkat kesuburan yang bervariasi dari rendah sampai tinggi, tekstur dari sedang hingga kasar, kandungan bahan organik dari rendah sampai tinggi, struktur yang bervariasi, drainase dari jelek sampai baik, pH tanah berkisar dari asam netral sampai alkalin, kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation juga bervariasi karena tergantung pada bahan induknya (Munir, 1996). Menurut Soepardi (1979) sifat fisika tanah ordo Entisol antara lain adalah distribusi ukuran partikel mempunyai hubungan positif dengan kecepatan air yang mengalir di atas suatu hamparan dan juga berpengaruh terhadap retensi dan transmisi air. Semakin kecil ukuran partikel yang bervariasi dari halus sampai kasar. Kepadatan ditunjukkan dengan porositas total dari suatu material, dimana pori total terdiri dari pori makro dan mikro.

Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah berapa persen kadar air tanah berdasarkan kapasitas lapang yang masih dapat ditoleransi oleh tanaman kedelai pada tanah ordo Entisol dan Ultisol terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai, serta interaksinya dengan demikian dapat diketahui bahwa jumlah air yang terbatas masih dapat memberikan hasil panen yang baik sehingga pemberian air dapat dilakukan dengan efisien dan efektif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat cekaman air yang dipertahankan pada 100, 80, 60 dan 40% dari kapasitas lapang pada tanah ordo Entisol dan Ultisol terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai.


EFEKTIVITAS EKSTRAK NIMBA DALAM PENGENDALIAN ULAT GRAYAK PADA TANAMAN SELADA

Alfian Rusdy

ABSTRACT

 

 Research objectives were to evaluate effectiveness of seed and leaf neem extracts at various concentrations in controlling armyworm in lettuce. Experimental design used was factorial completely randomized design, consisting of eight combinations of treatment with three replications. Factors examined were firstly neem extract of seed and leaf and secondly concentration of the neem extracts, which consists of four levels for each of the 5%, 10%, 15% and 20%.  Variables observed were mortality, percentage of pupa, percentage of imago, and intensity of damaged plants.   Results showed that use of seed and leaf extracts of neem plant can control armyworm (Spodoptera litura F.) in lettuce plants. Seed extract was more toxic than leaf extract of neem. The most effective concentration was 20 cc/100 ml solution (20%), followed by 15 cc (15%), 10 cc (10%), and 5 cc (5%).

Keyword: Neem, Armyworm, lettuce

 


PENDAHULUAN

 

Tanaman selada termasuk dalam kelompok tanaman sayuran yang sudah dikenal di masyarakat. Jenis sayuran ini mengandung zat yang  lengkap sehingga memenuhi syarat untuk kebutuhan gizi masyarakat. Selada sebagai sayuran bisa dikonsumsi dalam bentuk mentah atau lalapan. Selada juga dapat berguna untuk pengobatan (terapi) berbagai macam penyakit. Sehingga dengan demikian, selada memiliki peranan yang sangat penting dalam menunjang kesehatan masyarakat. Namun dalam pembudidayaan tanaman selada selalu terkendala Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) berupa hama dan penyakit.  Salah satu hama yang sering menyerang selada adalah ulat grayak (Spodoptera litura F.).

Ulat grayak memakan daun tanaman hingga daun berlobang-lobang kemudian robek-robek atau terpotong-potong (Cahyono, 2006).

Ulat grayak (Spodoptera litura F.) termasuk dalam ordo lepidoptera, merupakan   hama   yang  menyebabkan  kerusakan  yang serius pada tanaman budidaya   di daerah tropis dan sub tropis.     (Haryanti dkk., 2006).

Untuk mengendalikan hama tersebut, petani umumnya menggunakan insektisida kimia yang intensif (dengan frekuensi dan dosis tinggi). Hal ini mengakibatkan timbulnya dampak negatif seperti gejala resistensi, resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami, meningkatnya residu pada hasil, mencemari lingkungan dan gangguan kesehatan bagi pengguna. Pengurangan penggunaan pestisida di areal pertanian menuntut tersedianya cara pengendalian lain yang aman dan ramah lingkungan, di antaranya dengan memanfaatkan musuh alami dan penggunaan pestisida nabati (Samsudin, 2008).

Pemakaian insektisida pada awalnya tidak dirasakan sebagai penyebab gangguan pada lingkungan. Namun peningkatan jumlah  dan  jenis hama yang diikuti dengan peningkatan pemakaian insektisida menimbulkan banyak masalah. Salah satu di antaranya adalah menimbulkan  pencemaran lingkungan, keracunan pada pengguna dan residu pada komoditas pangan serta resistensi hama (Haryanti dkk., 2006).

Ketergantungan terhadap pestisida sintetis (kimia) mengakibatkan pengembangan metode pengendalian yang lain menjadi terabaikan atau bahkan ditinggalkan. Sebenarnya, usaha tani (agribisnis) tanpa pestisida sintetis bukanlah hal yang mustahil. Harus diakui bahwa teknologi pertanian tradisional (konvensional) merupakan teknologi yang mempunyai peranan besar untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Namun, pertambahan jumlah penduduk mengharuskan adanya peningkatan produksi tanaman. Pertanian masa depan yang ideal seharusnya memadukan teknologi tradisional dan  teknologi modern yang   diaktualisasikan   sebagai  pertanian   yang berwawasan lingkungan (Rahmat  dan Yuyun, 2006).

Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), pada prinsipnya  lebih ditekankan pada upaya memadukan semua teknik pengendalian hama yang cocok serta mendorong berfungsinya proses pengendalian alami yang mampu mempertahankan populasi hama pada taraf yang tidak merugikan tanaman, dengan tujuan menurunkan status hama, menjamin keuntungan pendapatan petani, melestarikan kualitas lingkungan dan menyelesaikan masalah hama secara berkelanjutan. Dengan penerapan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) tersebut, pemakaian pestisida sintetis diupayakan sebagai alternatif terakhir dan pelaksanaannya secara lebih bijaksana dengan memperhatikan faktor-faktor ekologi dan biologi dari hama sasaran dan musuh alami (Sumartono, 1994).

Walaupun demikian akan sulit sekali meramalkan bagaimana mengendalikan hama secara efektif tanpa menggunakan insektisida sintetis (Intan, 1992 dalam Julinawati, 1995).

Penggunaan pestisida nabati yang   berasal   dari  tumbuhan merupakan salah satu pestisida yang  dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama dan  penyakit   tanaman. Pestisida ini   berbahan   aktif  tunggal atau majemuk dapat berfungsi   sebagai penolak, anti fertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya. Di alam ini  terdapat lebih dari 1000 spesies tumbuhan yang mengandung insektisida, lebih dari 380 spp mengandung zat pencegah makan (antifeedant), lebih dari 270 spp mengandung zat penolak (repellent), lebih dari 35 spp mengandung akarisida dan lebih dari 30 spp mengandung zat penghambat pertumbuhan (Susetyo dkk,  2008).

Kelebihan utama penggunaan insektisida alami adalah mudah teurai atau tergradasi secara cepat.   Proses  penguraiannya    dibantu oleh komponen  alam, seperti     sinar matahari, udara dan   kelembaban. Dengan demikian insektisida alami yang disemprotkan beberapa hari sebelum panen tidak meninggalkan residu (Sukrasno, 2003).

Salah satu tumbuhan penghasil pestisida alami adalah tanaman nimba. Pestisida asal nimba mempunyai tingkat efektivitas yang tinggi dan berdampak spesifik terhadap organisme pengganggu. Bahan aktif nimba juga tidak berbahaya bagi manusia dan hewan. Tanaman nimba sangat potensial sebagai pestisida biologi dalam program Pengendalian Hama Terpadu (PHT), untuk mengurangi dan meminimalkan penggunaan pestisida sintetis (Rahmat  dan Yuyun, 2006).

Nimba (Azadirachta indica) yang mengandung senyawa bioaktif berupa triterpenoids: azadirachtin, salannin dan meliantriol yang terdapat pada daun, buah dan biji. Nimba merupakan salah satu tumbuhan yang berpotensi tinggi untuk perlindungan tanaman, dan menurut negara asalnya nimba dikenal khusus untuk pengobatan dengan bagian yang digunakan daun, biji dan lain-lain (Ketkar, 1976 dalam Julinawati, 1995)

Biji nimba mempunyai manfaat sebagai insektisida, baik untuk tanaman budidaya atau tanaman hias. Walaupun aktif sebagai insektisida, biji nimba tidak beracun bagi manusia maupun hewan yang bukan sasaran (Sukrasno, 2003).

Apakah ekstrak biji dan daun nimba (Azadirachta indica) berpengaruh terhadap mortalitas dan perkembangan hama Ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman selada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak  biji dan daun nimba pada berbagai  konsentrasi untuk mengendalikan Spodoptera litura F. pada tanaman selada.


EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH MENGKUDU TERHADAP MORTALITAS PLUTELLA PADA TANAMAN SAWI

Hasnah dan Nasril

ABSTRACT

One of the pests frequently attacking mustard greens is Plutella xylostella. Resulted damage can be up to 58-100% if control is not immediately done, especially in the dry season. The objective of this research was to obtain a effective concentration of great morinda extracts for controlling P. xylostella on mustard green. This research was conducted in Experimental Farm and Laboratory of Plant Pests and Diseases Department at the Faculty of Agriculture Unsyiah Darussalam Banda Aceh.  The results showed that application of great morinda was effective to control P. xylostella. Mortality of 100% larva was recorded at 3 days after application of  great morinda extract in the concentration of 150ml L-1 solution and this was equivalent to 1 ml L-1  of methrin delta solution, and that the percentage of pupa and imago was 0%. The intensity of damage to plant leaf of mustard greens was only 15.47% in the application of 150 ml L-1 of great morinda. It can be concluded that the concentration of 150ml L-1 solution of great morinda fruit extracts was effective for controlling P. xylostella and that was equivalent to 1 ml L-1  of methrin delta solution.
Keywords:  great morinda extract, P. xylostella and mustard green

 

 

PENDAHULUAN

Tanaman sawi salah satu tanman dari famili Crucifera, banyak kendala yang dihadapi petani pada waktu membudidayakannya antara lain serangan hama. Salah satu hama yang sering kali menyerang tanaman dari famili Crucifera ini adalah Plutella xylostella atau disebut ngengat ”punggung berlian”. Hama ini bersifat kosmopolit, larva P. xylostella menyerang tanaman yang masih muda di persemaian sampai tanaman dewasa di lapangan (Kalshoven, 1981).

P. xylostella tersebar diseluruh dunia, dari daerah tropis sampai daerah sub tropis. Tanaman yang terserang menjadi rusak berat (Pracaya, 2007). Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama tersebut dapat mencapai 58 – 100 persen apabila tidak segera dilakuan pengendalian, terutama pada musim kemarau (Rukmana, 1994).

Untuk menekan populasi hama ini berbagai cara pengendalian telah ditempuh, baik secara kultur teknis, mekanis, biologis, maupun dengan insektisida sintetik (Pracaya, 2005).

Deltamethrin merupakan salah satu insektisida sintetik yang paling banyak dipakai dikalangan petani yang diaplikasi untuk mengendalikan serangga hama, sehingga penggunaannya harus disesuaikan dengan tujuan dan sasarannya. Deltamethrin adalah racun kontak dan perut, kurang efektif  bila diaplikasi melalui tanah atau akar, karena ia harus bersinggungan langsung dengan kulit serangga sampai terjadi proses penetrasi pada lapisan lilin, polifenol dan kotikula (Taniqu, 2008).

Aplikasi insektisida deltametrin dapat dilakukan dengan penyemprotan sebagi tindakan pencegahan (preventif) terutama pada tanaman holtikultura dan palawija, karena insektisida kontak biasanya dibekali dengan bahan perekat (sticker) dan perata (spreader), sesuai dengan takaran yang dianjurkan. Frekuensi aplikasi berikutnya harus berdasarkan hasil pantuan di lapangan yakni berdasarkan hubungan intensitas serangan yang ditimbulkan dengan kepadatan hama di lapangan (Taniqu, 2008).

Pengendalian hama dengan menggunakan insektisida sintetik secara berlebihan dapat menimbulkan beberapa masalah, antara lain, resurjensi dan resistensi serta ledakan hama kedua, demikian juga terjadinya pencemaran lingkungan baik pada litosfer, hidrosfer, maupun atmosfer (Solichah, et al.,2004).

Oleh karena itu insektisida nabati merupakan alternatif untuk menggantikan insektisida sintetik, karena insektisida nabati tidak mengakibatkan efek negatif bagi manusia, ternak maupun lingkungan. Secara umum insektisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang mudah dibuat. Jenis insektisida ini bersifat mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan karena residu mudah hilang (Dinas Pertanian & Kehutanan, 2002).

Penggunaan ekstrak tumbuhan sebagai salah satu sumber insektisida nabati didasarkan atas pemikiran bahwa terdapat mekanisme pertahanan dari tumbuhan. Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan yaitu senyawa metabolik sekunder yang bersifat penolak (repellent), penghambat makan (antifeedant/feeding deterrent), penghambat perkembangan dan penghambat peneluran (oviposition repellent/deterrent) dan sebagai bahan kimia yang mematikan serangga dengan cepat (Prijono, 1999).

Salah satu tanaman yang bersifat sebagai insektisida nabati adalah mengkudu (Morinda citrifolia L.). Mursito (2005), menyebutkan bahwa mengkudu mengandung  minyak atsiri, alkaloid, saponin, flavonoid,  polifenol dan antrakuinon. Kandungan lainnya adalah terpenoid, asam askorbat, scolopetin, serotonin, damnacanthal, resin, glikosida, eugenol dan proxeronin (Bangun & Sarwono, 2005).

Hasil penelitian Christiana (2006), dengan menggunakan ekstrak buah mengkudu pada konsentari 3% menghasilkan mortalitas dari  Bactrocera dorsalis  sebesar 50%.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka perlu diteliti pengaruh ekstrak buah mengkudu terhadap perkembangan dan  mortalitas P. xylostella.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak buah mengkudu (M. citrifolia L.) yang efektif untuk mengendalikan hama  P. xylostella pada tanaman sawi.


PERBANDINGAN SUSUNAN DAN KANDUNGAN ASAM LEMAK KELAPA MUDA DAN KELAPA TUA

Rita Hayati

 

 

ABSTRACT

Objectives of this research was to evaluate the differences in composition and contents of fatty acid between the young and mature coconut and to provide information for health aspects.  Results showed that  content of  lauric acid and myristic acid of young coconut were lower than those of mature coconut.  Medium Chain Glycerides (MCT) C8 of young coconut was also lower than that of mature coconut.  Coconut oil rate of mature and young coconut at this study was 131,80 %.

 

Keywords : Saturated acid, acid lauric, young coconut, mature coconut

 

 

PENDAHULUAN

Kelapa (Cocos nucifera L.)  dikenal sebagai pohon ”kehidupan”. Daging buahnya dilapisi kulit tipis, dilindungi tempurung keras, sabut tebal dan kulit luar yang halus permukaannya (Roberto  et al.,  1996).  Kelapa merupakan pohon yang mempunyai berbagai kegunaan dan potensi serta mudah didapati di Pilipina,  Malaysia dan Indonesia.  Air kelapa digunakan untuk minuman dan nata de coco.   Daging kelapa diproses untuk pengeluaran santan kelapa dan digunakan untuk  masakan.  Kelapa juga diproses menjadi kelapa parut, serbuk kelapa, kosmetik dan untuk bahan-bahan kedokteran (Anonymous  2004).

Minyak kelapa dikenal terdiri atas lebih dari 90% asam lemak jenuh (Banzon and Velasco,  1982;  Levitt,  1967;  Banzon et al.,  1990).  Minyak kelapa tua terdiri dari 48.2% asam laurat (C12:0) dan 16.6% asam miristat (C14:0) yaitu asam lemak berantai sederhana yang baik untuk kesehatan.  Asam laurat merupakan asam lemak yang dijumpai dalam susu ibu  (Enig  1998).

Di dalam tubuh, asam laurat akan diubah menjadi monogliserida laurat yang bekerja sebagai anti-viral, anti bakteri dan anti protozoal.  Senyawa ini melawan virus yang dilapisi lipid seperti HIV, herpes,  influenza, serta berbagai bakteri patogenik termasuk Listeria monocytogenes dan Helicobacter dan protozoa seperti Giardia lambia. Asam lemak C8 sampai C14 carbon atom  diklasifikasikan sebagai medium-chain fatty acid (MCFA).  Esternya dengan gliserol dari MCFA disebut juga dengan medium-chain triglycerides (MCT). Keduanya digunakan sebagai komponen penting dalam ramuan kesehatan dan sebagai formulasi makanan bayi (Babayan, V.K,  1981; Yamashita and Y. Kadona,  1982; Batch and V.K  Babayan,  1982;  Julius and W. Leonhardt,  1988;  ITCU/GATT,  1990;  Kim and J.S.Rhee,  1991).

Kelapa sangat penting terhadap kualitas produk makanan yang dihasilkan, terutama mempengaruhi tekstur produk. Menurut Wood et al.  (2003)  susunan asam lemak berperan dalam aspek teknologi dan kualitas produk makanan.

Selama ini kelapa muda banyak digunakan pada pembuatan  makanan yang tergolong dalam snack ikan. di Malaysia, produk tradisional yang terkenal adalah otak-otak, solok lado dan sata. Di Indonesia secara tradisional, kelapa muda juga banyak digunakan pada otak-otak, botok dan buntil  di Jawa dan pembuatan belacan  di Aceh.  Kelapa tua dijadikan santan untuk masakan rendang di Padang dan sayur lodeh di Jawa.

Telah ada beberapa kajian mengenai penggunaan kelapa tua dalam makanan yang berhubungan dengan kesehatan konsumen,  namun terhadap kelapa muda belum ada kajian. Pemanfaatan kelapa muda lebih unggul, karena seluruh daging kelapa dapat digunakan,  sedangkan pada kelapa tua hanya bentuk santan atau minyaknya.  Oleh karena itu, penting diketahui susunan asam lemak pada kelapa muda serta perbedaannya dengan kelapa tua.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan susunan dan kandungan  asam lemak pada kelapa muda dan tua serta  dapat memberikan informasi aspek kesehatan, khususnya bagi konsumen “sata”.

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK KOMPOS DAN UREA TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT PINANG

Iwan Wahyudi dan Muhammad Hatta

 

ABSTRACT

 

This study was aimed at finding an appropriate dosage of compost and urea for seedling growth of betel palm. In addition, this study was also to determine whether the provision of compost can increase effectiveness of urea fertilizer for seedling growth of betel palm. Results of research showed that compost significantly affected seedling growth of betel palm. The best dosage of compost for the seedling growth was 1.5 kg per seedling. Urea fertilizer also significantly affected seedling growth of betel palm. The best dosage of urea for the seedling growth was 1.5 g per seedling. There were no significant interactions in most variables of seedling growth observed.

 

Keywords: betel palm, compost, urea

 

PENDAHULUAN

 

Tanaman pinang termasuk salah satu tanaman tahunan yang sangat dikenal oleh masyarakat karena secara alami penyebarannya cukup luas di berbagai daerah. Beberapa jenis pinang yang dikenal di Indonesia, di antaranya Pinang Biru, Pinang Hutan, Pinang Irian, Pinang Kelapa dan Pinang Merah (Lutony, 1992).

Pinang memiliki banyak manfaat.  Namun, saat ini banyak masyarakat hanya mengenal pinang sebagai tanaman yang hanya bermanfaat untuk bahan sirih saja. Padahal, masih banyak  manfaat lain antara lain sebagai tanaman penghijauan, bahan bangunan, bahan ramuan obat tradisional, bahan baku industri dan tanaman hias. (Lutony, 1992)[1]

Di Nanggroe Aceh Darussalam permintaan pinang terutama biji yang sudah dikeringkan makin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 permintaan biji pinang mencapai 16 ton dan pada tahun 2006, permintaan akan biji pinang sudah mencapai 20 ton pertahunnya. Ini menunjukkan bahwa pinang dapat menjadi komoditi yang sangat menjanjikan (Dinas Kehutanan, 2007). Mengingat prospek yang sangat cerah maka pinang perlu dibudidayakan secara intensif, selain untuk memenuhi permintaan pasar, juga dapat menjadikan sarana pelestarian sumber daya alam, tanah, dan air.

Untuk menunjang keberhasilan pengembangan pinang khususnya persemaian bibit pinang, perlu adanya kegiatan pemeliharaan yang memadai di pembibitan. Salah satu kegiatan pemeliharaan adalah melakukan pemupukan yang bertujuan untuk menambah unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Tanpa adanya penambahan unsur hara melalui pemupukan, pertumbuhan dan perkembangan bibit, yang hanya bergantung pada persediaan hara yang ada di dalam media tanah, akan menjadi lambat

Pemupukan merupakan salah satu cara untuk memperbaiki tingkat kesuburan tanah dan meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman (Nyakpa dan Har, 1985; Suhardi 1983). Pemupukan dapat dilakukan dengan memakai bahan kimiawi atau pun bahan organik.  Penggunaan pupuk organik seperti kompos merupakan salah satu pemupukan alternatif dalam usaha meningkatkan kualitas bibit.

Pupuk kompos yang merupakan sisa-sisa bahan organik yang telah mengalami perubahan dan proses fermentasi tumpukan sampah dan serasah tanaman, memegang peranan penting dalam memperbaiki kondisi tanah. Hakim et al. (1986) menyatakan kompos sangat berperan dalam memperbaiki sifat-sifat tanah seperti memperbaiki struktur tanah, tata air dan udara tanah, temperatur tanah, dan  sifat kimiawi tanah karena adanya  daya absorbsi dan daya tukar kation yang besar. Selain itu, kompos juga berperan dalam  memperbaiki kehidupan mikroorganisme di dalam tanah (Simamora, 2006).

Selain kompos, pupuk urea juga dapat meningkatkan pertumbuhan bibit. Pupuk urea adalah pupuk yang mengandung unsur nitrogen sebanyak 45 % yang berperan dalam pembentukan dan pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti pembentukan klorofil, membentuk lemak, protein dan memacu pertumbuhan daun, batang dan akar (Marsono dan Sigit, 2005).

Tanaman yang kekurangan unsur nitrogen memperlihatkan pertumbuhan yang terganggu. Tanaman akan tumbuh kerdil, sistem perakarannya terbatas, daun akan berwarna kekuning-kuningan (klorosis), jaringan tanaman mengering dan mati. Sebaliknya, kelebihan nitrogen juga memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman berupa lambatnya pemasakan  buah, tanaman mudah rebah karena banyak menyerap air, dan tidak tahan terhadap penyakit dan serangan hama sehingga dapat menurunkan kualitas hasil (Hidayat, 1978).

Penelitian ini bertujuan untuk mencari dosis pupuk kompos dan urea  yang tepat untuk pertumbuhan bibit pinang. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui apakah pemberian pupuk kompos dapat menambah efektivitas pupuk urea bagi pertumbuhan bibit pinang.