Archive for October 29th, 2012

PENGARUH JENIS PUPUK ORGANIK DAN VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)

Erita Hayati, T. Mahmud, dan Riza Fazil

ABSTRACT

This study was aimed at determining effects of organic fertilizer types and varieties on growth and yield of pepper and interaction between both factors. The research was conducted at Experiment Station of Agriculture Faculty, Syiah Kuala University, Darussalam Banda Aceh, from June to October 2010. The experiment used a randomized complete block design (RCBD), 3 x 2 with three replications. Factors studied were types of organic fertilizer, consisting of compost and cow manure and varieties, consisting of TM-999 and local varieties. Variables observed were plant height at ages of 15, 30 and 45 days after planting (DAP), number of productive branches, number of fruits per plant, fruit weight per plant, yield per plot and production per ha. Results showed that there was no significant interaction between organic fertilizer types and varieties on all observed variables. Organic fertilizers did not significantly affect plant height at ages of 15, 30 and 45 DAP, productive branches at age of 75 DAP, number of fruits per plant, fruit weight per plant, yield per plot, and yield per ha. Varieties significantly affected plant height at age of 30 DAP, number of fruits per plant, but did not significantly affected plant height at ages 15 and 45 DAP, number of productive branches at age of 75 DAP, fruit weight per plant, yield per plot, and yield per ha.

Keywords: organic fertilizer, varieties, chili pepper

PENDAHULUAN

Cabai merah (Capsicum annum L.) adalah sayuran semusim yang termasuk famili terung-terungan (Solanaceae). Tanaman ini berasal dari benua Amerika, tepatnya di daerah Peru, dan menyebar ke daerah lain di benua tersebut. Di Indonesia sendiri diperkirakan cabai merah dibawa oleh saudagar-saudagar dari Persia ketika singgah di Aceh antara lain adalah cabai merah besar, cabai rawit, cabai merah keriting dan paprika. Cabai tidak hanya digunakan untuk konsumsi rumah tangga sebagai bumbu masak atau bahan campuran pada berbagai industri pengolahan makanan dan minuman, tetapi juga digunakan untuk pembuatan obat-obatan dan kosmetik. Selain itu cabai juga mengandung zat-zat gizi yang sangat diperlukan untuk kesehatan manusia. Cabai mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin-vitamin, dan mengandung senyawa alkaloid seperti flavonoid, capsolain, dan minyak esensial (Santika, 2006).

Produksi cabai di Indonesia masih rendah dengan rata-rata nasional hanya mencapai 5,5 ton/ha, sedangkan potensi produksinya dapat mencapai 20 ton/ha (Santika, 2006). Berdasarkan hal itu, maka usaha peningkatan produksi cabai harus dilakukan baik dengan cara perbaikan teknik budidaya maupun dengan penggunaan varietas yang sesuai.

Salah satu cara usaha peningkatan produksi yaitu dengan perbaikan teknik budidaya seperti penggunaan pupuk organik. Pupuk organik padat merupakan pupuk dari hasil pelapukan sisa-sisa tanaman atau limbah organik (Musnamar, 2003). limbah yang dimaksud berasal dari hasil pelapukan jaringan-jaringan tanaman atau bahan-bahan tanaman seperti jerami, sekam, daun-daunan dan rumput-rumputan yang berupa limbah hayati yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar kita, didaur ulang dan dirombak dengan bantuan mikroorganisme dekomposer seperti bakteri dan cendawan menjadi unsur-unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Proses perombakan jenis bahan organik menjadi pupuk organik dapat berlangsung secara alami atau buatan (Prihmantoro, 2005).

Menurut Sarief (1986) pemberian pupuk organik yang tepat dapat memperbaiki kualitas tanah, tersedianya air yang optimal sehingga memperlancar serapan hara tanaman serta merangsang pertumbuhan akar.

Pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi merupakan pupuk padat yang banyak mengandung air dan lendir. Pupuk ini digolongkan sebagai pupuk dingin. Pupuk dingin merupakan pupuk yang terbentuk karena proses penguraian oleh mikroorganisme berlangsung secara perlahan-lahan sehingga tidak membentuk panas. Sebaliknya, pupuk kotoran kambing digolongkan sebagai pupuk panas, yaitu pupuk yang terbentuk karena proses penguraian oleh mikroorganisme berlangsung secara cepat sehingga membentuk panas (Musnamar, 2005). Kelemahan dari pupuk panas adalah mudah menguap karena bahan organiknya tidak terurai secara sempurna sehingga banyak yang berubah menjadi gas (Samekto, 2006).

Prajnanta (2004) menyatakan unsur hara yang dihasilkan dari jenis pupuk organik sangat tergantung dari jenis bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Unsur hara tersebut terdiri dari mineral, baik makro maupun mikro, asam amino, hormon pertumbuhan, dan mikroorganisme. Kandungan hara yang dikandung dalam jenis pupuk organik kotoran sapi berbentuk padat terdiri dari nitrogen 0,40%, fosfor 0,20% dan kalium 0,10%. Jenis pupuk organik dari sampah organik terdiri dari nitrogen 0,09%, fosfor 0,36% dan kalium 0,81% (Lingga, 2005)

Pupuk organik mempunyai fungsi antara lain adalah: 1) memperbaiki struktur tanah, karena bahan organik dapat mengikat partikel tanah menjadi agregat yang mantap, 2) memperbaiki distribusi ukuran pori tanah sehingga daya pegang air tanah meningkat dan pergerakan udara (aerasi) di dalam tanah menjadi lebih baik. Fungsi biologi pupuk kompos adalah sebagai sumber energi dan makanan bagi mikroba di dalam tanah. Dengan ketersediaan bahan organik yang cukup, aktivitas organisme tanah yang juga mempengaruhi ketersediaan hara, siklus hara, dan pembentukan pori mikro dan makro tanah menjadi lebih baik (Setyorini 2004). Selain pemupukan, penggunaan varietas juga merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan produksi cabai.

Varietas terdiri dari sejumlah genotipe yang berbeda di mana masing-masing genotipe mempunyai kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Setiap varietas memiliki perbedaan genetik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil serta kemampuan adaptasi suatu varietas berbeda-beda. Varietas bermutu (varietas unggul) mempunyai salah satu sifat keunggulan dari varietas lokal. Keunggulan tersebut dapat tercermin pada sifat pembawaannya yang dapat menghasilkan buah yang berproduksi tinggi, respons terhadap pemupukan dan resisten terhadap hama dan penyakit. Jenis varietas yang sesuai dengan keadaan lingkungan diharapkan tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang tinggi (Prajnanta, 2004).

Untuk mencapai produksi yang tinggi ditentukan oleh potensi varietas unggul. Potensi varietas unggul di lapangan masih dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik (varietas) dengan pengelolaan kondisi lingkungan. Bila pengelolaan lingkungan tumbuh tidak dilakukan dengan baik, potensi produksi yang tinggi dari varietas unggul tersebut tidak dapat tercapai (Adisarwanto, 2006). Varietas lokal pertumbuhannya sangat kuat, tahan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman, serta mempunyai adaptasi yang baik terhadap lingkungan, tetapi masih memiliki kelemahan yaitu produksi yang masih rendah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis pupuk organik dan varietas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman cabai serta ada tidaknya pengaruh interaksi antara kedua faktor tersebut.

PENGARUH JENIS MULSA DAN KONSENTRASI PUPUK ORGANIK CAIR SUPER BIONIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.)

Ainun Marliah, Nurhayati, dan Tarmizi

ABSTRACT

The study was aimed at determining effect of mulch type and concentration of liquid organic fertilizer Super Bionic on growth and yield of onion. The experiment used a randomized complete block design (RCBD) 3×3 with 3 replications. There were 2 factors investigated, 1) type of mulch consisting of 3 levels: straw, burned husk, and water hyacinth and 2) concentration of organic liquid fertilizer Super Bionic consisting of 3 levels: 2 cc/L of water, 4 cc/L of water and 6 cc/L of water. The results showed that the type of mulch significantly affected the number of tubers per hill, but did not exert significant effects on plant height and number of tillers at ages 15, 30 and 45 days after planting (DAP), wet weight of tuber per hill and dry weight of tubers per hill and potential yield. Growth and yield of onion tended to be better at water hyacinth mulch. Concentration of liquid organic fertilizer Super Bionic significantly affected the number of tillers at age 15, 30 and 45 DAP and dry weight of tuber per hill, but did not exert significant effects on plant height at age 15, 30 and 45 DAP, the number of tubers per hill, wet weight of tuber per hill and potential yield. Better growth and yield were obtained at concentrations 2 cc/L of water. There was no significant interaction between type of mulch and concentration of liquid organic fertilizer Super Bionic.

Keywords: mulch, organic liquid fertilizer, onion

PENDAHULUAN

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) termasuk ke dalam suku Liliaceae. Tanaman ini berasal dari Asia Selatan, yaitu daerah sekitar India, Pakistan sampai Palestina (Rahayu, Berlian, dan Sundaya, 2005). Bawang merah sangat banyak manfaatnya, baik digunakan sebagai sayuran rempah, juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional karena mengandung asam amino Alliin yang berfungsi sebagai antibiotik (Kuettner, 2002). Selanjutnya Rukmana (2001) menambahkan bahwa hingga sekarang bawang merah digunakan untuk pengobatan sakit panas, masuk angin, dan gigitan serangga serta juga sebagai bumbu penyedap makanan. Hal ini disebabkan karena bawang merah mempunyai efek antiseptik dari senyawa Alliin dan Allisin. Senyawa Alliin maupun Allisin oleh enzim Allisiin liase diubah menjadi asam piruvat, ammonia dan Allisin antimikroba yang bersifat bakterisida.

Kebutuhan bawang merah yang terus meningkat, tidak hanya di pasar dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, sehingga terbuka peluang untuk ekspor. Dalam periode tahun 2001-2005, ekspor bawang merah Indonesia mencapai 89.678 kg senilai US $ 14.309, dengan sasaran utama Singapura, Malaysia dan Hongkong (Kanisius, 2003). Sementara di lain pihak produktivitas bawang merah di Indonesia masih rendah (rata-rata 5,4 ton/ha), sedangkan potensinya dapat mencapai 10-12 ton/ha (Samsuddin, 2000). Berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan hasil bawang merah yaitu melalui perbaikan teknik budidaya, salah satunya adalah dengan menggunakan mulsa.

Mulsa adalah bahan atau material yang digunakan untuk menutupi permukaan tanah atau lahan pertanian dengan tujuan tertentu yang prinsipnya adalah untuk meningkatkan produksi tanaman. Secara teknis, penggunaan mulsa dapat memberikan keuntungan antara lain, menghemat penggunaan air dengan laju evaporasi dari permukaan tanah, memperkecil fluktuasi suhu tanah sehingga menguntungkan pertumbuhan tanaman bawang merah dan mikroorganisme tanah, memperkecil laju erosi tanah baik akibat tumbukan butir-butir hujan dan menghambat laju pertumbuhan gulma (Lakitan, 1995).

Mulsa ada dua jenis yaitu mulsa organik dan mulsa anorganik. Mulsa organik adalah mulsa yang berasal dari sisa panen, tanaman pupuk hijau atau limbah hasil kegiatan pertanian, yang dapat menutupi permukaan tanah. Seperti jerami, eceng gondok, sekam bakar dan batang jagung yang dapat melestarikan produktivitas lahan untuk jangka waktu yang lama. Mulsa organik berupa mulsa plastik hitam dan perak (Lakitan, 1995).

Mulsa anorganik adalah mulsa yang meliputi semua bahan yang bernilai ekonomis tinggi seperti plastik dan batuan dalam bentuk ukuran 2-10 cm (Umboh, 1997). Secara umum pengetahuan mulsa organik dapat ditentukan oleh jenis mulsa, jenis tanaman dan tipe iklim. Perbedaan penggunaan bahan mulsa akan memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan dan hasil bawang merah. Keuntungan dari mulsa organik lebih mudah didapatkan , dan dapat terurai sehingga menambah kandungan bahan organik dalam tanah (Umboh, 1997).

Mulsa Jerami kaya akan unsur hara yang dibutuhkan tanaman yaitu K, Al, dan Mg. Begitu juga dengan pelapukan bahan organik akan membebaskan sejumlah senyawa penyusunnya, terutama mengandung C, N, S dan P. Dengan terjadinya pelapukan mulsa jerami proses dekomposisi akan mudah terurai. Sebagian besar membebaskan 20-30 g karbon dalam bentuk CO2 sisanya digunakan untuk jasad renik (Purwowidodo, 1999).

Mulsa eceng gondok (Euchornia crassipes) cukup banyak mengandung unsur hara N, P, dan K serta mengandung asam amino, fosfat, dan Kalsium, yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Selain itu mulsa eceng gondok dapat menekan pertumbuhan gulma, mengurangi evaporasi dan penurunan aliran permukaan penyebab erosi (Susanto, 2000).

Selain mulsa jerami dan eceng gondok, teknologi pembakaran mulsa sekam bakar pada budidaya bawang merah atau dalam bahasa Jawa disebut dengan danen berfungsi menghangatkan umbi bawang merah dengan meningkatnya suhu media tanam bawang merah yang dapat mempercepat pertumbuhan tunas. Dalam waktu 2 hari setelah pembakaran, tunas baru akan muncul serempak. Abu sekam bakar juga akan menambahkan unsur hara bagi tanaman bawang merah (Purwowidodo, 1999).

Selain penggunaan mulsa organik untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah, unsur hara dibutuhkan dalam jumlah dan perbandingan yang tepat, salah satunya dapat diperoleh dari pupuk organik cair. Pemberian pupuk organik cair Super Bionik pada tanaman memberikan keuntungan, yaitu akan memberikan respons yang positif jika konsentrasi yang diberikan tepat dan sesuai dengan anjuran. Salah satu pupuk organik cair yang dapat digunakan adalah pupuk organik cair Super Bionik.

Pupuk organik cair Super Bionik adalah pupuk hasil fermentasi dan ekstraksi dari berbagai senyawa organik yang diperkaya dengan nutrisi esensial. Pupuk ini dapat meningkatkan hasil dan kualitas (rasa, warna, bentuk, kesehatan, dan kesegaran) tanaman. Kandungan yang terdapat dalam pupuk organik cair Super Bionik adalah 0,5% senyawa C-organik, 5% N, 5% P2O5, 8% K2O, 0,5% CaO, 4% MgO, dan 0,6% SO4 dengan komposisi yang berimbang[1].

Selain itu pupuk tersebut juga mengandung beberapa jenis asam amino, hormon tumbuh (Sitokinin, Giberilin, dan IAA), vitamin, dan asam-asam organik (humik dan fulvat). Konsentrasi pupuk organik cair Super Bionik yang dianjurkan untuk tanaman sayuran adalah 2-4 cc/L air. Namun sampai saat ini belum diketahui konsentrasi yang tepat bagi pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah dengan aplikasi penggunaan mulsa.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis mulsa organik dan konsentrasi pupuk organik cair Super Bionik yang tepat dalam pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah, serta untuk mengetahui interaksi antara kedua faktor tersebut.


[1] Brosur pupuk organik cair Super Bionik

PERUBAHAN FISIOLOGI DAN KANDUNGAN KLOROFIL SELAMA PEMASAKAN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN VIABILITAS BENIH JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.)

Hasanuddin, Halimursyadah, dan Trisda Kurniawan

 

ABSTRACT

The objectives of this research were to study physiological and chlorophyll changes during seed ripening and find quick parameters as indicators to determine seed physiological maturity level. A randomized completely block design with 5 treatments and 3 replications was used in this research. The treatments were (1) dark green fruit, 42 days after anthesis (DAA), (2) yellowish green fruit, 47 DAA, (3) fully green fruit, 52 DAA, (4) brownish yellow fruit, 57 DAA, and (5) dark brown fruit, 62 DAA. The results showed that jathropa seed was physiologically mature at 57 DAA with criteria: fruit color was brownish yellow, fruit skin was soft and easily hand-opened, and seed was black. These were also supported by seed dry weight, germination percentage, germination rate and first count germination. There were negative relationships between seed chlorophyll content and germination percentage, germination rate and first count germination.

Keywords: Jatropha, fruit maturity, seed physiological maturity and chlorophyll content

PENDAHULUAN

Tanaman jarak pagar tergolong tanaman yang bandel dan mudah tumbuh, namun demikian pengadaan bahan tanam merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan. Bahan tanam, baik berupa bibit maupun benih dituntut unggul dan bermutu, tersedia dalam jumlah dan waktu yang tepat. Pertumbuhan bibit yang baik ditentukan oleh mutu benih yang digunakan. Bahan tanam jarak pagar dapat berasal dari setek, kultur jaringan dan benih. Benih masih merupakan alat perkembangbiakan tanaman yang utama dalam pengembangan tanaman jarak pagar.

Benih yang bermutu tinggi tidak lepas dari viabilitas dan vigor yang tinggi. Salah satu faktor yang menentukan viabilitas dan vigor benih adalah saat panen yang tepat di mana benih mencapai masak fisiologi. Hasil penelitian Adikadarsih dan Hartono (2007) menunjukkan benih jarak pagar yang berasal dari klon NTB dipanen pada saat buah berwarna kuning atau lebih dari 50% telah berwarna kuning kehitaman atau telah berumur 45 sampai 55 hari setelah anthesis menghasilkan vigor dan daya berkecambah yang paling baik. Utomo (2007) menambahkan bahwa masak fisiologi buah jarak dari Pakuwon (IP-1P) tercapai mulai umur 52-57 HSA, dengan kriteria kulit buah kuning sampai kuning kecokelatan. Pada saat itu viabilitas yang ditunjukkan oleh daya berkecambah (DB), vigor yang ditunjukkan oleh kecepatan tumbuh benih (KCT) berada pada kondisi maksimum, dan kadar air mulai menurun

Pemanenan benih pada tingkat kemasakan yang tepat (masak fisiologi) sangatlah penting untuk mendapatkan tingkat mutu benih yang tinggi dan daya simpan yang panjang. Pemanenan yang dianjurkan adalah pada saat vigor maksimum (daya tumbuh maksimum), bobot kering benih maksimum, penurunan kadar air benih (sampai mencapai kadar air keseimbangan) dan peningkatan perkecambahan (Kamil 1982).

Selama ini sudah banyak tolok ukur fisiologi untuk mendeteksi tingkat kemasakan benih di antaranya bobot kering benih, kadar air benih, kecepatan tumbuh, perkecambahan mencapai 50%, daya berkecambah dan first count germination. Meskipun demikian, sebagian besar dari tolok ukur tersebut membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengetahui hasilnya. Diperlukan suatu tolok ukur baru yang lebih cepat dan spesifik untuk dapat mendeteksi tingkat kemasakan benih. Sadjad et al.(1999) menyatakan perlunya pencarian indikator kuantitatif lain yang didasarkan proses biokimiawi untuk mendeteksi vigor biokimiawi.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari indikasi biokimia sebagai penentu masak fisiologi pada berbagai jenis tanaman. Hasil penelitian Suhartanto (2003) menunjukkan bahwa kandungan klorofil pada benih tomat berkorelasi negatif dengan daya berkecambahnya. Masak fisiologis yang dicerminkan oleh daya berkecambah mencapai maksimum pada saat kandungan klorofil mencapai minimum. Mutu benih sangat ditentukan oleh tingkat kemasakan benih tersebut, sehingga dapat dikatakan juga bahwa kandungan klorofil benih juga menentukan mutu benih tersebut. Almela, et al.(1996) yang meneliti dua varietas cabai paprika Bola Roja dan Negral menunjukkan bahwa pada saat proses pemasakan terjadi perubahan komposisi klorofil dan total karotenoid buahnya. Pada varietas Negral klorofil buah hijau dan setengah masak tinggi dan saat masak penuh klorofil berkurang hanya tinggal sekitar 14%, sementara pada varietas Bola Roja klorofil menghilang pada stadia masak penuh.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan fisiologi dan klorofil selama proses pemasakan benih dan mencari alternatif tolok ukur lain yang lebih cepat sebagai indikator untuk menentukan tingkat masak fisiologi benih.

PENGARUH JARAK TANAM HEKSAGONAL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TIGA VARIETAS PADI

Muhammad Hatta

ABSTRACT

The objective of this study was to examine hexagonal plant spacing on growth and yield of three varieties of rice. In addition, this study was also aimed to examine interactions between the hexagonal plant spacing and the varieties on growth and yield of rice plants. The experiment applied a split plot design with four replications. Factors studied were (1) variety, placed as a main plot and (2) hexagonal plant spacing, placed as subplot. The results showed that effect of plant spacing on productive tiller number varied, depending on variety. In Pandan Wangi and Ciherang varieties, productive tiller numbers did not differ between plant spacing of 21 cm from a spacing of 25 cm. In contrast, in line Cot Irie, productive tiller of 25 cm plant spacing outnumbered that of plant spacing of 21 cm. Effect of plant spacing on panicle length was consistent on all varieties tested. Rice panicle length did not differ between plant spacing of 21 cm and 25 cm. Effect of plant spacing on potential yield per hectare was also consistent across all varieties tested. Plant spacing of 21 cm provided a potential yield per ha which was not significantly different from plant spacing of 25 cm. Line Cot Irie provided panicle length better than varieties Pandan Wangi and Ciherang. Line Cot Irie also provided the highest yield potential per hectare, while panicle length and potential yield per ha of Ciherang were not significantly different from Pandan Wangi.

Keywords: plant spacing, hexagonal spacing, rice, variety, Ciherang, Pandan Wangi, SRI

PENDAHULUAN

Metode SRI yang telah banyak mendapat pengakuan dari berbagai kalangan (The SRI Group, 2006; Mutakin ,2009) harus diakui masih dalam taraf perkembangan. Kendati hasil yang diperoleh sangat menjanjikan, namun kritik terhadap metode ini juga tidak sedikit (Thakur, 2010); ECOS, 2006). Ini tidak lain akibat dari eksekusi metode SRI yang sangat beragam dan dengan demikian, hasilnya pun juga sangat beragam.

Ruang untuk memperbaiki Metode SRI terbuka luas. Salah satu di antaranya adalah mencari bentuk tanam dan jarak tanam yang sesuai bagi varietas padi yang digunakan. Bentuk tanam heksagonal atau dikenal juga dengan bentuk tanam segi tiga memiliki kelebihan dibanding tipe lainnya. Salah satu kelebihannya adalah dengan jarak tanaman yang sama, bentuk ini memiliki lebih banyak populasi. Secara matematika, bentuk heksagonal memerlukan lahan lebih hemat 13 persen dan menghasilkan populasi lebih banyak sekitar 15 persen dibanding bentuk segi empat. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa bentuk heksagonal memberikan hasil yang lebih baik dibanding bentuk segi empat (Hatta, 2011).

Selain bentuk tanam, jarak tanam juga mempengaruhi pertumbuhan dan hasil padi. Jarak tanam yang lebar memungkinkan tanaman memiliki anakan yang sangat banyak. Pada jarak tanam 50 cm x 50 cm, tanaman padi dapat menghasilkan 50-80 anakan dalam satu rumpun (Sinar Tani Online, 2011). Sebaliknya, jarak tanam yang sempit hanya menghasilkan jumlah anakan yang sedikit. Bahkan pada jarak tanam yang sangat sempit, satu tanaman hanya menghasilkan beberapa anakan saja. Sohel et al. (2009) menemukan bahwa pada jarak tanam 25 cm x 5 cm, satu rumpun hanya menghasilkan 4 – 5 tanaman saja. Namun demikian, jarak tanam yang terlalu lebar berpotensi menjadi tidak produktif. Banyak bagian lahan menjadi tidak termanfaatkan oleh tanaman, terutama apabila tanaman tidak mempunyai cukup banyak jumlah anakan sehingga tersisa banyak ruang kosong. Banyaknya ruang kosong ini pada akhirnya menyebabkan berkurangnya hasil padi yang dihasilkan per satuan luas lahan. Dengan kata lain, produktivitas lahan menjadi rendah. Menurut Salahuddin et al. (2009), jarak tanam mempengaruhi panjang malai, jumlah bulir per malai, dan hasil per ha tanaman padi. Selain itu, jarak tanam juga mempengaruhi komponen hasil padi. Hatta (2012) menemukan bahwa jarak tanam sangat mempengaruhi jumlah anakan produktif.

Jarak tanam juga dipengaruhi oleh varietas. Beberapa varietas yang banyak ditanam petani tergolong memiliki banyak anakan. Namun demikian, ada juga varietas yang beredar tergolong beranak sedikit atau sedang. Secara umum, varietas yang memiliki banyak anakan seyogianya ditanam dengan jarak yang renggang, sebaliknya varietas yang beranak sedikit ditanam dengan jarak yang rapat. Setiap varietas memiliki jarak tanam idealnya tersendiri. Varietas juga berpengaruh terhadap komponen hasil. Panjang malai dan jumlah bulir per malai adalah beberapa komponen hasil yang dipengaruhi oleh varietas (Hatta, 2011; Hatta, 2012).

Jarak tanam yang tepat akan memberikan pertumbuhan, jumlah anakan, dan hasil yang maksimum. Menurut Sohel et al. (2009), jarak tanam yang optimum akan memberikan pertumbuhan bagian atas tanaman yang baik sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak cahaya matahari dan pertumbuhan bagian akar yang juga baik sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak unsur hara. Sebaliknya, jarak tanam yang terlalu rapat akan mengakibatkan terjadinya kompetisi antar tanaman yang sangat hebat dalam hal cahaya matahari, air, dan unsur hara. Akibatnya, pertumbuhan tanaman terhambat dan hasil tanaman rendah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji jarak tanam bentuk heksagonal pada tiga varietas terhadap pertumbuhan dan hasil padi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menguji interaksi antara jarak tanam heksagonal dengan varietas terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Pengujian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang spesifik terhadap pengembangan metode SRI ke depan.

AKSERELASI PERTUMBUHAN STUMP JATI (Tectona grandis L.f.) DENGAN PEMOTONGAN BATANG DAN INOKULASI MIKORIZA

Efendi, Syammiah, dan Muhammad Iqbal

Abstract

A study was carried out to attempt accelerating growth of teak stump by stem cutting and inoculation of Mycorrhiza. Three months-old-seedlings of teak were cut and inoculated with mychorryza. Results of the study showed that growth of teak stump, including stem height, plant height, stem diameter, numbers of leaves, length of leaves, and fresh weight of the teak plant were significantly affected by cutting stem and inoculation of Mycorrhiza. We found that length of stem, length of plant, stem diameter, numbers of leaves, length of leaves were of significantly-positive responses to stem cutting. Additionally, inoculation of Mycorrhiza also successfully accelerated growth of teak stump, including stem, leaves, and biomass. This study found a non-significant interaction between the cutting stem and inoculation of Mycorrhiza. The present study revealed that the cutting stem 2.5-7.5 could be considered as the optimum treatment to enhance growth of teak stump. Moreover, inoculation of Mycorrhiza with 2.5 g/polybag was the optimum dosage to enhance growth of teak stump. The dosage of Mycorrhiza inoculation did not depend on length of cutting stem.

Keywords: teak, stem cutting, Mycorrhiza, growth, stump

PENDAHULUAN

Tanaman jati (Tectona grandis L.f.) dikenal sebagai penghasil kayu mewah bernilai ekonomis tinggi dengan kualitas terbaik (Suryana, 2001). Jati dapat diolah menjadi perabot, venir untuk permukaan kayu lapis dan sebagai parket penutup lantai. Jati sering juga dipakai untuk dok pelabuhan, bantalan rel kereta api, jembatan, dan kapal (Ariyantoro, 2006). Sanjaya (2011) mengemukakan bahwa pasokan jati Indonesia masih kekurangan, yaitu sebesar 1,7 juta m3/tahun. Dengan demikian, pengembangan jati dinilai sangat prospek di masa yang akan datang. Sayangnya, beberapa permasalahan masih dihadapi saat ini. Diantaranya adalah kurangnya teknologi budidaya yang berwawasan lingkungan untuk mendukung akselerasi pertumbuhan jati secara cepat dan efisien. Para petani di Indonesia masih kurang berminat menanam jati karena masa panen kayu jati yang relatif masih lama (Yana, 2009). Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan teknologi budidaya yang dapat mempercepat pertumbuhan jati, termasuk pada saat pembibitan.

Namun demikian, untuk memenuhi kebutuhan bibit jati dalam jumlah besar di daerah-daerah yang jauh, bibit jati sering diangkut dengan menggunakan organ stump. Organ ini merupakan bibit yang telah dibongkar dan dipotong batang dan akarnya, sehingga tersisa akar utama dengan beberapa sentimeter pangkal batang. Dalam hal ini, masih ada permasalahan lain yaitu berapakah tinggi batang yang terbaik yang harus disisakan sebagai stump. Pemotongan yang terlalu pendek dapat menghambat tumbuhnya tunas baru secara cepat. Sedangkan pemotongan yang terlalu panjang menjadi tidak efisien dan adanya kemungkinan tumbuhnya tunas yang berlebihan.

Di samping pemotongan tunas, diperlukan juga usaha untuk mempercepat pertumbuhan stump jati. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah melalui pemupukan. Pada penelitian sebelumnya, pemupukan jati dengan menggunakan pupuk NPK anorganik telah berhasil meningkatkan diameter batang, tinggi batang, tinggi bibit, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun jati (Efendi, 2011). Namun demikian, pemupukan dengan pupuk anorganik selain memerlukan biaya tinggi, juga adanya kemungkinan dampak negatif terhadap sifat-sifat tanah, seperti keasaman tanah, tertekannya kehidupan biologis tanah, serta berbagai kerusakan sifat fisik tanah lainnya.

Oleh karena itu, penggunaan pupuk alternatif, seperti pupuk hayati perlu dikaji untuk mengatasi permasalahan lingkungan serta usaha-usaha mempercepat pertumbuhan bibit jati. Salah satu pupuk hayati yang banyak digunakan saat ini adalah mikoriza. Akan tetapi, berapa dosis mikoriza yang tepat untuk mendorong pertumbuhan stump jati secara cepat belum diketahui dengan baik. Apabila dosis mikoriza yang diberikan terlalu rendah diduga tidak akan efektif, dan jika diberikan terlalu banyak akan menjadi tidak efisien.

Husna et al. (2007) mengemukakan bahwa keuntungan pemakaian mikoriza adalah sebagai berikut: dapat membantu akar tanaman dalam penyerapan unsur hara makro dan mikro; lebih banyak menyerap air karena dapat menjangkau pori-pori mikro tanah yang tidak bisa dijangkau oleh rambut-rambut akar; meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan patogen akar; serta menghasilkan zat pengatur tumbuh yang dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman. Di samping itu, Novriani dan Madjid (2009) menjelaskan bahwa asosiasi antara akar tanaman dengan jamur ini memberikan manfaat yang sangat baik bagi tanah dan tanaman inang yang merupakan tempat jamur tersebut tumbuh dan berkembang biak

PENGARUH INTERVAL WAKTU PEMBERIAN PUPUK ORGANIK CAIR ENVIRO TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL DUA VARIETAS MENTIMUN (Cucumis sativus L.)

Jumini, Hasinah HAR, dan Armis

ABSTRACT

This study was aimed at determining appropriate time interval of providing liquid organic fertilizer Enviro to growth and yield of two varieties of cucumber and interaction betweenthe time interval and the variety. The experiment was carried out on flood plain of Krueng Lamnyong, Shiah Kuala Sub District, Banda Aceh from November 2008 to January 2009, using a factorial randomized complete block design 4×2 with three replications. Factors studied were time interval of providing liquid organic fertilizer Enviro, consisting of 4 levels ( 5, 7, 9 and 11 days and varieties, consisting of 2 levels (local varieties and Hercules 56). Variables observed were plant height, fruit numbers, fruit length, fruit diameter, and fruit Weights. Results showed that the time interval of providing liquid organic fertilizer Enviro did not affect plant height at age of 10, 20, and 30 days after planting (DAP), the number, length, diameter and weight of cucumber fruits harvested for 4 times. On the other hand, variety exerted significant effects on plant height at age of 10, 20 and 30 DAP, the number, length and weight of fruits, but did not exert a significant effect on fruit diameter. The best growth and length of cucumber fruits were found on varieties Hercules 56, while the number, diameter and weight of fruits of four Time harvest were found on local varieties.
There was no significant interaction between time interval and variety on all variables observed.

Keywords: liquid organic fertilizer, Enviro, variety, Hercules 56, cucumbers

PENDAHULUAN

Prospek tanaman mentimun semakin cerah, karena pemasaran hasilnya tidak hanya dilakukan di dalam negeri (domestik) tetapi ke luar negeri (ekspor). Untuk itu diperlukan peningkatan produksi dan produktivitas dari mentimun, salah satunya melalui pemupukan (Rukmana, 1994). Pemupukan memegang peran penting dalam meningkatkan produksi tanaman, terlebih lagi dengan banyaknya penggunaan varietas unggul yang mempunyai respons yang tinggi terhadap pemupukan.

Pemupukan merupakan salah satu cara untuk memperbaiki tingkat kesuburan tanah dan meningkatkan produksi tanaman. pemupukan dapat dilakukan melalui tanah dan daun. Pemupukan melalui daun dilakukan karena adanya kenyataan bahwa pemupukan melalui tanah kadang-kadang kurang menguntungkan, karena unsur hara sering terfiksasi, tercuci dan adanya interaksi dengan tanah sehingga unsur hara tersebut relatif kurang tersedia bagi tanaman. Faktor inilah yang mendorong timbulnya pemikiran untuk melaku-kan pemupukan melalui daun (Suhadi, 1980). Keuntungan pemupukan melalui daun adalah penyerapan unsur hara dari pupuk yang di berikan berjalan lebih cepat dibandingkan bila diberikan melalui tanah, sehingga pemberian pupuk melalui daun lebih efisien penyerapan unsur haranya (Lingga, 1994).

Pada prinsipnya pemupukan melalui daun memperhatikan waktu aplikasi yang tepat. Soetejo dan Kartasapoetra (1988) menyebutkan bahwa waktu aplikasi juga menentukan pertumbuhan tanaman. Berbedanya waktu aplikasi akan memberikan hasil yang tidak sesuai dengan pertumbuhan tanaman. pemberian pupuk melalui daun dengan interval waktu yang terlalu sering dapat menyebabkan konsumsi mewah, sehingga menyebabkan pemborosan pupuk. Sebaliknya, bila interval pemupukan terlalu jarang dapat menyebabkan kebutuhan hara tanaman kurang terpenuhi. Interval waktu pemberian pupuk organik cair Enviro di anjurkan yaitu 7-10 hari sekali dengan konsentrasi 1 cc per liter air.

Di samping pemupukan, penggunaan benih varietas unggul juga sangat berpengaruh terhadap hasil mentimun. Penelitian ini menggunakan dua varietas yang menghendaki tempat yang berbeda. Mentimun varietas lokal menghen-daki dataran rendah dan mentimun varietas Hercules 56 menghendaki dataran tinggi untuk pertumbuhan-nya. Mentimun varietas lokal mulai berbunga pada umur 24 HST, umur panen tanaman ini 33-36 HST dan banyak menghasilkan bunga jantan, buahnya berwarna putih kehijauan. Sedangkan varietas Hercules 56 masa panennya 35-60 HST, buah seragam, tidak berongga, daging buah cukup tabal, buah berbentuk panjang silindris dan kulitnya berwarna hijau tua (Cahyono, 2003). Sejauh mana pengaruh dari interval waktu pemupukan organik cair Enviro terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas mentimun serta interaksi antara kedua faktor tersebut belum diketahui oleh karena itu perlu dilakukan penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interval waktu pembe-rian pupuk organik cair Enviro yang tepat terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas tanaman mentimun serta nyata tidaknya interaksi antara kedua faktor tersebut.

PENGARUH CAIRAN PERASAN BEBERAPA JENIS DAUN TERHADAP PERTUMBUHAN CENDAWAN ENDOFIT Trichoderma Sp. SECARA INVITRO

Rina Sriwati, Susanna, Putri Yuni

ABSTRACT

The study, aimed at investigating effects of several types of leaf juice liquids on growth of endophytic fungi Trichoderma sp. in vitro has been carried out in Laboratory of Plant Pathology, Faculty of Agriculture Unsyiah, Banda Aceh. The study started with preparation of liquids squeezed from leaves of four types of plant: cocoa leaf, maranggo tree, neem, and lead tree. Experiment used a completely randomized design non faktorial, consisted of 5 treatments and 4 replications. Variables measured were incubation period of spores, spore colony diameter, spore color, and spore number. Results showed that treatment of several types of leaf juice liquid exerted a highly significant effect on incubation period and spore colony diameter of fungi Trichoderma sp. The fastest incubation period (2.25 days) and the longest colony diameter (9.00 cm) were found at juice liquid of lead tree leaves. The longest incubation period (3:53 today) was found at cocoa leaf juice likuid, while the shortest colony diameter (4.98 cm) was found at juice of maranggo tree leaves. Use of all liquid leaves in various media did not affect spore numbers, although the media with juice of lead tree leave had more Trichoderma sp. than that of other media.

PENDAHULUAN

Cendawan endofit adalah cendawan yang hidup di dalam jaringan tanaman pada periode tertentu dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya.

Kemampuan cendawan endo-fit memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai dengan tanaman inangnya merupakan peluang yang sangat besar dan dapat diandalkan untuk memproduksi metabolit sekunder dari mikroba endofit yang diisolasi dari tanaman inangnya tersebut. Dari sekitar 300.000 jenis tanaman yang tersebar di muka bumi ini, masing-masing tanaman mengan-dung satu atau lebih mikroba endofit yang terdiri dari bakteri dan jamur (Balittro, 2008).

Interaksi tanaman dengan cendawan endofit mampu meng-kolonisasi inangnya dan tumbuh dengan tidak menimbulkan gejala dalam jaringan tanaman yang diinfeksinya sehingga tanaman tetap sehat (Petrini, 1991). Penelitian tentang interaksi tanaman dengan cendawan endofit sudah banyak dilakukan antara lain intercellular symbionts antara endophytik ascomycota famili Clavicipitaceae yang berkembang dalam jaringan tanaman (Clay & Schardl, 2002).

Hasil penelitian Sriwati et al, (2009) melaporkan, bahwa terdapat beberapa spesies cendawan endofit yang berasosiasi pada daun kakao dari Aceh Timur salah satu di antaranya adalah cendawan Trichoderma sp. Trichoderma merupakan salah satu mikro organisme antagonis yang mampu menekan patogen dan mikroorganisme yang dapat diguna-kan sebagai biokontrol terhadap cendawan patogen. Pemanfaatan cendawan Trichoderma juga berpo-tensi sebagai pengendali hayati karena bersifat antagonis terhadap beberapa patogen tanaman, seperti Fusarium sp, Rhizoctonia solani dan Phytium (Ramada, 2008).

Arnold & Herre (2003), menjelaskan bahwa cendawan endofit sangat sensitif terhadap bahan kimia yang dihasilkan oleh daun tanaman, terutama komponen fenolik yang bersifat antifungi (Colley & Kursar,1996), senyawa-senyawa tersebut adalah inhibitor yang menghambat pertumbuhan sebagian jenis cendawan. Cannon & Simmon (2002) menyatakan bahwa senyawa kimia yang terkandung dalam daun tanaman berperan penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan cendawan endofit.

Dalam budidayanya, tanaman kakao memerlukan naungan. Ada beberapa tanaman naungan yang digunakan, antara lain tanaman nimba, sentang, dan lamtoro. Tanaman-tanaman tersebut merupa-kan tanaman pelindung dan mempunyai banyak fungsi yang sering terdapat pada perkebunan kakao. Akhir-akhir ini nimba dan sentang dikenal sebagai jenis tanaman yang menghasilkan berbagai zat aktif, salah satu bahan aktif tersebut adalah azadirachtin suatu senyawa triterpenoid yang berguna sebagai sumber terbaik untuk biopestisida (Zakiah, et al, 2003). Sementara ekstrak daun lamtoro selain berfungsi sebagai pupuk organik juga sebagai pestisida nabati (Soerodjotanoso, 1993). Cannon & Simmon (2002) menyatakan bahwa senyawa kimia yang terkandung dalam daun tanaman berperan penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan cendawan endofit. Untuk ketahanan Trichoderma sebagai cendawan endofit pada tanaman, maka perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan Trichoderma seperti suhu, pH, kelembaban yang optimum dan senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman.

Berdasarkan uraian di atas dengan asumsi bahwa cendawan Trichoderma sensitif terhadap bahan kimia yang terkandung di dalam beberapa jenis daun, maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh ekstrak beberapa daun tanaman terhadap pertumbuhan cendawan Trichoderma asal kakao.

PENGARUH EKSTRAK RIMPANG JERINGAU (Acorus calamus L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT GRAYAK Spodoptera litura F.

Hasnah, Husni, dan Ade Fardhisa

 

ABSTRACT

The purpose of this study was to obtain an effective concentration of the extract of sweet flag rhizome in controlling S. litura. This research was conducted at Laboratory of Plant Pests and Diseases, Agriculture Faculty, Syiah Kuala University, Banda Aceh. This research used a Completely Randomized Design (CRD) non-factorial, with six levels of extract concentrations, that is 0%, 3%, 6%, 9%, 12%, and 15%. Each treatment was repeated four times. The variables measured were mortality of larvae, percentage of formed pupae, percentage of emerging imago, and life length of imago. The results showed that application of the sweet flag rhizome extract affected mortality of larvae, formed pupae, emerging imago, and life length of imago S. litura. Use of sweet flag rhizome extract with a concentration of 3% was effective in controlling S. litura. Application of sweet flag rhizome extract with a concentration of 3% resulted in larval mortality up to 57.50%, formation of pupa only 20%, emerging imago 5%, and average life length of imago S. litura 1.25 days.

Keywords: sweet flag, rhizome extract, Spodoptera litura

 

PENDAHULUAN

Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuidae) merupakan salah satu hama serangga yang potensial menyerang tanaman pala-wija dan sayuran di Indonesia (Samsudin, 2008). S. litura bersifat polifag dan menyerang lebih dari 112 spesies tanaman, antara lain temba-kau, kedelai, sawi, kubis, kacang tanah, kentang, cabai, bawang merah, dan tanaman sayuran lainnya (Kalshoven, 1981).

Hama ini sering mengakibat-kan penurunan produksi bahkan kegagalan panen karena menyebab-kan daun dan buah sayuran menjadi sobek, terpotong-potong dan berlubang. Bila tidak segera diatasi maka daun atau buah tanaman di areal pertanian akan habis (Samsudin, 2008).

Ledakan populasi hama ini beriringan dengan adanya perubahan iklim, terutama periode kering yang diikuti curah hujan dan kelembaban tinggi yang disertai oleh tersedianya makanan melimpah. Ledakan popu-lasi biasanya didahului oleh kondisi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan parasitoid dan predator (Pabbage et al., 2007).

Pengendalikan hama ini telah ditempuh dengan berbagai cara, baik secara kultur teknis, mekanis, biologis maupun dengan insektisida sintetik. Usaha pengendalian dengan menggunakan insektisida sintetik lebih sering dilakukan oleh petani daripada usaha-usaha pengendalian lainnya. Meningkatnya penggunaan insektisida sintetik dalam pengelola-an hama ini menambah permasalahan dan dampak negatif yang ditimbul-kan oleh bahan kimia tersebut terhadap kelestarian lingkungan biotik dan abiotik (Oka, 1995).

Sulistiyono (2004) menyebut-kan bahwa penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani hortikultura pada umumnya tidak lagi mengindahkan aturan dosis atau konsentrasi yang dianjurkan. Penggunaan pestisida sintetik telah menimbulkan dampak ekologis yang sangat serius. Dampak ekologis yang ditimbulkan diantaranya adalah timbulnya resurgensi hama, ledakan hama sekunder, matinya musuh alami dan timbulnya resistensi hama utama.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 1995 Pasal 3 ayat 1 menjelaskan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan melalui sistem pengendalian hama terpadu (PHT), selanjutnya dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus ditekan seminimal mungkin. Oleh karena itu, perlu dicari cara pengendalian yang efektif terhadap hama sasaran, namun aman terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan. Salah satu golongan insektisida yang memenuhi persyaratan tersebut adalah insektisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau lebih dikenal dengan insektisida nabati (Martono et al., 2004).

Salah satu tanaman yang mengandung insektisida nabati adalah jeringau. Jeringau (Acorus calamus L.) termasuk dalam golongan rempah-rempah yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini mengandung minyak atsiri yang disebut sebagai minyak kalamus atau calamus oil (Rismunandar, 1966 dalam Rustini, 2010).

Tanaman jeringau mengan-dung bahan kimia aktif pada bagian rimpang yang dikenal sebagai minyak atsiri (Rismunandar, 1988 dalam Simanjorang, 2008). Kompo-sisi minyak atsiri rimpang jeringau terdiri dari 82% asaron, 5% kalamenol, 4% kalamin, 1% kalameon, 1% metileugenol, dan 0,3% eugenol (Duke, 1992 dalam Sasongko & Asmara, 2002).

Asarone sebagai komponen utama penyusun minyak atsiri terdiri dari 67 hidrokarbon, 35 senyawa karbonil, 56 alkohol, 8 fenol, dan 2 furan (Mazza, 1985 dalam Motley, 1994).

Minyak atsiri dari jeringau berperan sebagai racun perut, racun kontak, anti-feedant, repellent (Hasan et al., 2006), dan pencegahan oviposisi (Anwar, 2009). Menurut Pandey et al. (2005) rimpang jeringau mengandung kadar insekti-sidal cukup tinggi yang dapat menyebabkan kematian pada S. litura.

Pemanfaatan minyak atsiri rimpang jeringau dalam mengendali-kan larva S. litura telah dilakukan oleh Farida (2008) dengan konsentrasi 2,5 %, 5 %, 10 %, 15 % dan 20 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LC50 terdapat pada 48 JSP, yaitu sebesar 7,06 %, sedangkan pada LT50 terdapat pada konsentrasi 20 % yaitu sebesar 28,41 jam. Selanjutnya hasil penelitian Pandey et al. (2005) menunjukkan bahwa pada konsentrasi 2,0% ekstrak rimpang jeringau dalam mengendali-kan larva S. litura mengakibatkan kematian 50%, 63%, dan 80% pada 24 jam, 48 jam, dan 72 jam setelah perlakuan.

Berdasarkan hal tersebut di atas peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh ekstrak rimpang jeringau terhadap mortalitas S. litura.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi yang efektif dari ekstrak rimpang jeringau dalam mengendalikan S. litura.